Sumber gambar : sungai
Aku mendengar desir air sungai yang merintih tentang pedihnya kebohongan. Kata mereka airnya sangat sejuk tanpa secercah bahan-bahan bekas yang bertebaran. Jika diam adalah pengkhianatan. Akankah aku harus melakukannya? Airnya memang sangat jernih. Lalu lingkungannya?
Menilai dari segi pecinta bukan penikmat. Jika mencintai, pandangan tidak tertuju pada keindahan. Jalanan yang kumuh dipenuhi bibit-bibit penyakit bagi siapa saja. mereka bilang Indonesia punya kekayaan alam yang berlimpah. Apakah salah satunya akan dikemas untuk sang penjajah? Bodoh. Terlalu bodoh. Setelah dirampas lalu merongrong ganas. Miris.
Desir air sungai semakin kencang. Mengalir dari tempat tinggi ke tempat rendah. Aku bertanya,"apakah gerangan?". Ia tak menjawab. Desirnya semakin riuh dan menghantam beberapa bebatuan besar mengisyaratkan kekesalan. Ia terlihat jernih dan suci, hanya saja berbau. Manusialah penyebabnya.
Aku kembali bertanya pada bebatuan,"mengapa desirnya semakin besar dan menghantam dirimu?".
Ia pun tak menjawab.
Mengikhlaskan kepergian anaknya; batu-batu kecil. Keningku berkerut memandangnya. Tidak ada siapapun yang mampu menjawab segala pertanyaan yang menumpuk dalam hatiku.
Orang-orang disana terlihat santai tanpa rasa kesal. Apa yang terjadi? Bungkusan makanan bertebaran, plastiknya berhamburan, sisa-sisa makanan tersebar. Ah, teriakanku dihiraukan.
Beginikah potret kebenaran wajah penghuni Indonesia?
Beberapa orang telah berupaya menjaga dan sebagian besar lagi masih butuh asupan. Kesenangan hanyalah nafsu. Bukan hanya mengecewakan, melainkan tidak mensyukuri ciptaan sang ilahi. Pecinta alam kerap kali meraung ganas. Kekeliruan manusia konyol menjadi kesalahan mereka. Bukankah itu tidak adil? Aku manusia, kau manusia, dan mereka juga manusia. Tugas kita adalah menjaga kelestarian dan bersyukur atas segala pemberian dari-Nya.
Aku memandang sekitar. Pohon-pohon terlihat rindang dan suasana tampak asri, hanya saja ketidaksenonohan tangan manusia mengubah segalanya menjadi buruk. Merasa tidak bersalah dengan apa yang telah dilakukan. Diberitahukan malah kesal. Diingatkan malah marah. Mungkin saja beginilah potret wajah kebenaran dari mereka.
Aku tidak hebat. Aku tidak merasa sempurna. Aku pun bukan manusia yang paling beruntung. Bila saling menggenggam dalam menjaga kelestarian, bukankah itu lebih baik? Kini, kicauan burung pun menyemarakkan keadaan. Bukankah itu indah?
Biarkan kekesalanku membangkitkan semangat dalam melestarikannya. Air sungai yang suci bukan untuk diperalatkan sebagai pembersih sampah. Meracuninya dengan bahan-bahan berbusa menyebabkan berbagai ikan kewalahan dalam menjalani hidup. Keindahan mewarnai lingkungan berharap dilakukan dengan perasaan. Hidup dengan alam tanpa harus mencengkeram.
0 Comments