Matahari

Oleh Maul_MK

Tarian dalam cahaya mentari mengingatkanku pada sebuah nama yang tersematkan takut untuk mengangkat kepala dan melangkah tanpa beriringan. Terangnya siang telah menjadi teman tanpa bersama kilauan bintang-bintang kecil nan bersinar, tapi tiada yang mengerti sebagai teriakan pada kecilnya wujud di pandangan manusia. Bagaimana saling beriringan padahal tidak mampu mengatakan apa yang seharusnya dilepaskan?

Aku telah mencoba untuk membiarkan rasa sakit hilang di siang yang dianggap ancaman sukma. Siang yang menjadi titik perpisahan walau tak terucap. Anak-anak itu hanya mampu berenang di tepi sagara kesedihan. Mereka berkumpul hanya demi sebuah benda kecil yang disebut dengan makanan. Teriakan dan tangis masih mengaum dan sesak terasa hingga aku tak mampu kembali pulang melalui nayakina.

Pada akhirnya, senyum yang aku dambakan terlukis dalam teriakan “kakak”. Permainan tawa telah membahagiakan mereka sesaat, gumpalan takut mengitari detik demi detik. Mata telah berbicara untuk hari yang harus berjalan, walau bergetar dan terus terkenang saat saling pandang. Namun, kemustahilan demi menemukan jalan kembali untuk kehidupan ada di kesia-siaan.

Langkah kemarin menyadarkanku, tawa mereka tidak abadi sebab air kesedihan masih akan terus membayangi ribuan kilometer kenangan. Dentuman panas dan keras sebagai hiasan di malam gelap dan bermakna mencekam. Manusia tidak akan memahami sebelum merasakan apa yang dijalani. Bahkan, terseok-seok pun tidak akan memberi cahaya pada bibir mereka yang kering.

Menyusuri jalan kehidupan benar-benar telah memberi mimpi yang tidak ingin aku bangun. Tidur dalam kebisingan padahal keheningan di balik sukma. Orang-orang memandang dalam ketakutan, menyumpah serapah bak malaikat pemelihara raga. Ketika sinar mentari memanggilku melalui tarian, hentakan kaki berirama tidak lagi berputar. Aku ingin pulang; batinku.

Pekikan manusia mengitari setiap malam, mengatakan bahwa dunia tidak semenakutkan pikiran. Padahal, cahaya yang ingin aku lihat benar-benar nyata dibalik lengkungan bibir. Lautan anak-anak mungil yang merongrong kalimat pasrah. Senyum mereka masih sama layaknya permen dalam permainan tawa. Berbincang dan berkeliling demi menemaniku atas pertanyaan-pertanyaan yang berbekas. Walaupun, tidak mampu lagi bergerak.

Melalui hela napas ini, bolehkah aku mendapatkan secercah pantulan cahaya matahari agar kebahagiaan mampu membawa senyuman kembali?


Medan


Post a Comment

5 Comments

  1. Maul kita come back guys 🤟🔥

    ReplyDelete
    Replies
    1. rindu sekali sama Maul yg dlu Den?

      Delete
    2. iya lagi hahaha

      Delete
  2. naks emak sudah kembali 😭

    ReplyDelete
    Replies
    1. Prosais sejuta umat si Maul keluar ditahun 2025 Mak 🔥

      Delete