Tarian dalam cahaya mentari mengingatkanku pada sebuah nama
yang tersematkan takut untuk mengangkat kepala dan melangkah tanpa beriringan. Terangnya
siang telah menjadi teman tanpa bersama kilauan bintang-bintang kecil nan
bersinar, tapi tiada yang mengerti sebagai teriakan pada kecilnya wujud di
pandangan manusia. Bagaimana saling beriringan padahal tidak mampu mengatakan
apa yang seharusnya dilepaskan?
Aku telah mencoba untuk membiarkan rasa sakit hilang di siang
yang dianggap ancaman sukma. Siang yang menjadi titik perpisahan walau tak
terucap. Anak-anak itu hanya mampu berenang di tepi sagara kesedihan. Mereka
berkumpul hanya demi sebuah benda kecil yang disebut dengan makanan. Teriakan
dan tangis masih mengaum dan sesak terasa hingga aku tak mampu kembali pulang
melalui nayakina.
Pada akhirnya, senyum yang aku dambakan terlukis dalam
teriakan “kakak”. Permainan tawa telah membahagiakan mereka sesaat, gumpalan
takut mengitari detik demi detik. Mata telah berbicara untuk hari yang harus
berjalan, walau bergetar dan terus terkenang saat saling pandang. Namun,
kemustahilan demi menemukan jalan kembali untuk kehidupan ada di kesia-siaan.
Langkah kemarin menyadarkanku, tawa mereka tidak abadi sebab
air kesedihan masih akan terus membayangi ribuan kilometer kenangan. Dentuman
panas dan keras sebagai hiasan di malam gelap dan bermakna mencekam. Manusia
tidak akan memahami sebelum merasakan apa yang dijalani. Bahkan, terseok-seok pun
tidak akan memberi cahaya pada bibir mereka yang kering.
Menyusuri jalan kehidupan benar-benar telah memberi mimpi
yang tidak ingin aku bangun. Tidur dalam kebisingan padahal keheningan di balik
sukma. Orang-orang memandang dalam ketakutan, menyumpah serapah bak malaikat
pemelihara raga. Ketika sinar mentari memanggilku melalui tarian, hentakan kaki
berirama tidak lagi berputar. Aku ingin pulang; batinku.
Pekikan manusia mengitari setiap malam, mengatakan bahwa
dunia tidak semenakutkan pikiran. Padahal, cahaya yang ingin aku lihat
benar-benar nyata dibalik lengkungan bibir. Lautan anak-anak mungil yang
merongrong kalimat pasrah. Senyum mereka masih sama layaknya permen dalam
permainan tawa. Berbincang dan berkeliling demi menemaniku atas
pertanyaan-pertanyaan yang berbekas. Walaupun, tidak mampu lagi bergerak.
Melalui hela napas ini, bolehkah aku mendapatkan secercah pantulan cahaya matahari agar kebahagiaan mampu membawa senyuman kembali?
5 Comments
Maul kita come back guys 🤟🔥
ReplyDeleterindu sekali sama Maul yg dlu Den?
Deleteiya lagi hahaha
Deletenaks emak sudah kembali 😭
ReplyDeleteProsais sejuta umat si Maul keluar ditahun 2025 Mak 🔥
Delete