Oleh Maul_MK
Musim-musim telah berganti, tapi keindahan harus dicahayai. Aku menggenggam bintik-bintik angan dan kau datang semata mengantar dunia pada ketidakmusnahan. Lagi dan lagi melambung dengan langkah ketiadaan yang lenggang. Kau terlalu sibuk cara melupakan dan kita tidak memahami apa yang dikelilingi tiap pagi. Tolong, ada aku sedekat-dekatnya meraih mata yang berair.
Seketika malam telah melantunkan melodi melalui bercak-bercak cahaya bintang. Sementara bulan menerangi langit sembari memancarkan mimpi untuk lebih mendekap dari pelukan sang ketulusan. Sia-sia. Kumparan kita adalah dunia kesendirian.
Seketika pagi, tangan dan kenangan terbayang kesetiaan pada penantian menyambut fajar yang memancar tanpa gentar. Aku menatap daun yang berembun dan kau menatap daun jendela yang basah sebab embun. Satu kata namun beda makna. Itulah kita.
Seketika siang, matahari menyengat laksana api menjilat sekat-sekat celah bilik. Semakin lelah dan gerah. Kita saling mengabaikan sebab jarak telah menghangatkan dalam kesendirian.
Seketika menjelang sore, kau kembali menopang rindu. Menceritakan apa yang dirasakan sepanjang kau berupaya. Pulau ini benar-benar berbeda. Bagaimana bisa kita saling berjalan menuju perasaan? Hati kecil ini terus saja berkata “Mustahil”. Kepercayaan menjadi landasan. Entahlah, aku tidak mengerti. Perlahan senja menimbulkan wujud keindahannya layaknya kau. Kini, menghilang.
Seketika malam kembali lagi. Sayup-sayup cahaya rembulan telah menyadarkan bahwa kau pernah berjuang tapi memilih pulang. Pernah singgah, tapi saat lelah. Pernah terluka, tapi malah lupa. Terakhir, pernah bahagia tapi sementara.
Medan
0 Comments