Sumber gambar : musim kemarau |
Sebelum kemarau, aku dikelilingi hijaunya dedauan dan besarnya batang pepohonan dan desirnya sang bayu, dan tawa canda kekariban. Asri dan menyejukkan. Tiada polusi, tiada kolusi, tiada iri hati.
Sukma salah memahami waktu. Batang pepohonan yang kaku, desir sang bayu merasa pilu dan dedaunan tampak layu. Segalanya terlihat malu.
Apakah ini kesalahan aku?
Pecinta alam meraung panas. Sang penebang menderu ganas. Mengabaikan kehidupan yang mulai menipis. Tak berpikir anak dan cucu kian hari akan menangis. Hidup ini telah miris. Sungguh, egois!
Aku ingin pergi ke sawah untuk memaknai sikap tunduknya sang padi. Berisi dan menunduk sembari bertasbih mengucap syukur. Memberi cahaya kehidupan atas hasil benih kasih-sayang. Bermanfaat dan sangat berguna. Kebahagiaan menuai hasil bumi. Menepis realita bumi telah tua.
Semesta menjadi saksi dedaunan kering ditiup sang bayu. Menari mengelilingi perteduhan. Sangat hampa dan gersang. Tidak ada setetes air langit pun enggan membasahi sawah. Padi menguning sesak seakan ingin berteriak,"Dosa kotor siapa yang menyebabkan Tuhan murka?".
Air telah raib. Sumur-sumur tampak kosong. Rerumputan tertunduk lelah. Semuanya tampak menguning dan terasa pucat.
Sudah begini, beberapa penghamba mengemis dalam tetesan air yang tergelincir di pipi. Leher yang kering dan kesat; kering kerontang. Ternak dan anak tampak sekarat bila kemarau telah datang. Tangis dan penyesalan atas keegoisan tiada bermakna lagi. Gemeretak ranting satu dan satu dan satu dan satu kian satu menggelisahkan masyarakat. Suara riang pun enggan bernuansa. Jerit sang penghamba seperti setengah gila. Percuma!
"Dimanakah sang katak yang selalu merongrong?" tanyanya.
"Menjijikkan namun kau menginginkan." jawabku.
Bisikan yang angkuh moga-moga kau luluh. Melangkah kembali menemukan jati diri yang di ridai. Tepis saja kemarau dalam sajak yang risau. Sudahlah, segala musim akan berganti. Hanya saja, rasa syukur harus tertanam dalam diri.
Medan
Maul_MK