Kepahitan Kata

Sumber gambar: kepahitan kata
Oleh : Maul_MK

 Awan telah bergelut pada malam yang berbebar sehingga dadaku terus bergetar. Diujung sana, kau kokoh tegak dengan sepasang syal yang melilit di leher hingga menutupi dagu. Aku ragu menjawab pekikan itu. Entahlah, kebetulan hingga kembali bercerita kenangan.


  Kau telah menjahit waktu. Menyalakan api dan membawa air agar padam. Lautan keruh yang penuh kepanikan dan kepahitan. Berkali-kali upayakan tanya pada petala langit hingga berani terucap pada bibirmu yang mungil itu.

"Apa kabar?" tanyamu.

  Dahulu, kau warna-warni ketenangan bergerak menggapai sepasang angan. Belajar terbang dan berenang sebelum terlambat menggenggam malam yang kelam. Kau, muara agar menepi dan berhenti dalam mencari. Tidak ada air yang mengalir membasahi sisi wajah. Kau meraih jari-jari dan mengembus mimpi berulang kali.

 Aku lupa, kau malah mengganggap persinggahan saat lelah. Saat burung-burung berkelana mencari sarang, sesekali pula singgah untuk beristirahat. Tak lama, kembali berkenala. Entah mencari angin, makan, bahkan meninggalkan kenangan.

 Suara semakin sesak di ulu dada. Dalam keadaan lelah, aku pasrah.

 Dengan mudahnya kau pergi dan berlari tanpa meninggalkan jejak melainkan rasa sesak. Kau, benar-benar membuatku muak!

  Aku terpasung hitamnya elegi bertamsil gelas berisi kopi. Pipi telah mengalirkan air yang keluar melalui celah mata. Air mata adalah teman setia. Sendu adalah selimut merekat jiwa. Kau adalah bayangan mengiringi pilu menusuk sukma.

 Perihal kita, kesedihan berkeliling diantara jarak dan waktu. Lampion-lampion itu merengkuh gerimis saat senja menemani sang bengis.

“Kita bagai sambau di tengah jalan.” bisik hati kecilku.  

  Melodi kidung-kidung rindu membawa pada pusaran pilu. Kini, kau dan aku tak lagi kita dibalut pahitnya kata.


Medan



Post a Comment

0 Comments