Sumber gambar: ruang kumuh |
Oleh : Maul_MK
Tubuh dibasahi keringat sebagai pertanda bau lelah telah menyengat. Kita dikelilingi manusia yang enggan bercengkerama. Gawai berjenama selalu dipegang bak Tuhan Pemelihara Raga. Ada kata yang mengitari sukma, namun bibir sukar menyapa. Akankah bersama?
Ketakutan pada harapan mengundang seribu tanya untuk menetap dalam lorong kenyataan. Halaman sangat luas; hatimu. Ia sangat kumuh sebab tak ada yang disinggahi berharap Tuhan memberikannya hanya untuk tempatku beristirahat.
Banyak pepohonan menjulang sekeliling kami bercengkerama. Akar telah mengakar sebagai isyarat waktu telah berjalan dengan hati bergetar. Batang telah memanjang bak umur yang terus berjalan.
Pukul dua telah sirna sebab aku lebih menyukai tiga. Mengitari dunia dalam dunia kekanak-kanakan. Jika aku pulang akan terkenang. Ah, sudahlah!
Diketuk pintu kamar, hanya membuka kenangan yang semakin melebar.
Melangkah masuk dan duduk di bawah petakan keramik sembari menunduk. Rebahan tubuh dalam ranjang mematikan layar kehidupan. Ranjang itu ingin diterjemah, aku lemah.
Dinding-dinding berbisik,”Aku kumuh jika kau lemah. Aku berkata jika bahasa bisa diterjemah.”
Dinding-dinding berbisik,”Aku kumuh jika kau lemah. Aku berkata jika bahasa bisa diterjemah.”
Medan
0 Comments